Siapkan dana
kuliah buah hati
Dia pun berharap sistem yang ada di Indonesia bisa seperti yang ada di luar negeri. Pajak digunakan untuk fasilitas yang terbaik dan koruptor benar-benar dibasmi, sehingga pajak benar-benar bisa dialokasikan untuk kesejahteraan tenaga medis dan guru-guru.
Ia juga meminta agar Kementerian Pendidikan, Kebudayaan Riset, dan Teknologi lebih terlihat lagi perannya. “Aku cuma lihat mereka fokus mengurus terobosan, padahal harusnya kampus juga dilihat, khususnya maba (mahasiswa baru) yang baru masuk itu bagaimana mereka tetap bisa kuliah sampai lulus. Kadang info beasiswa di kampus saja itu sembunyi-sembunyi lho dan buat yang pintar saja,” ucap dia.
Salah satu orang tua penerima dua beasiswa di tujuh universitas luar negeri, Haris Fajar Rahmanto, menceritakan sudah mempersiapkan semua saat anaknya masuk SMA. “Jadi persiapan administratif seperti rapo, dan lainnya, supaya chance diterimanya lebih besar, itu aktivitas di luar akademis harus diikuti, seperti olimpiade begitu, seperti Fatih (anaknya) ikut OSN dan dapat medali perak nasional. Jadi memuluskan dia diterima juga,” ucap Haris dalam wawancara di Instagram Live OneShildt.
Sebagai orang tua, Haris tidak pernah terpikir untuk anaknya akan ambil beasiswa di luar negri. Lalu setelah kelas 11, ia bersama anaknya sempat ikut open house kampus, di situ baru mulai tertarik untuk mencoba.
“Jadi ada open house ITB, dia tertarik, terus kelas 11 kebetulan di NTU Singapura juga ada open house, kita ke sana sekalian ingin tahu, ternyata dapat informasi beasiswa. Dari situ mulai muncul minat untuk beasiswa, jadi akhirnya prioritas utama adalah ambil beasiswa luar negeri daripada PTN,” ujar Haris lagi.
Beasiswa S1 ini sangat terbatas dibanding beasiswa S2, sehingga anaknya membuat daftar universitas mana saja yang pembelajarannya menggunakan bahasa Inggris, jurusan yang ia minati, dan beasiswa penuh. Dari situ, ia mendapat 20 daftar universitas untuk pengajuan beasiswa.
“Kalau memang mau daftar kuliah di luar negeri, jangan pas kelas 12-nya, tapi kalau bisa dari kelas 10 SMA pun sudah ada persiapannya. Fatih, dari 20 yang didaftar, tujuh universitas berhasil diterima, dan dua memberikan beasiswa penuh, yang satu itu adalah kampus sekarang tempat Fatih kuliah di Jepang jurusan mechanical and aerospace engineering dan satu lagi di Korea,” ujar Haris.
Salah seorang penerima beasiswa di University of Tokyo, Jepang, Santi Setiawati, juga menceritakan alasannya mengejar beasiswa penuh di luar negeri. Faktor utamanya tentu karena finansial yang tidak memadai dan ia memilih Jepang karena negara itu ramah pendidikan.
Ia bercerita biaya kuliah S1 di Jepang bisa kisaran Rp 90 hingga 400 juta tergantung universitasnya, negeri atau swasta. Kemudian S2 kisaran Rp 60 juta per tahun. Itu pun baru biaya semester atau biaya tahunan. Sementara biaya masuknya sekitar Rp 30 juta untuk universitas negeri dan swasta bisa tiga kali lipat.
Untuk biaya hidup berdasarkan riset yang ia lakukan sekitar Rp 12 juta per bulan. Tapi karena Jepang adalah negara yang ramah untuk pendidikan, mahasiswa banyak mendapat keuntungan. Misalnya, dapat free pass dari rumah ke kampus, ada juga diskon buat makanan, baju, dan lainnya, lalu pajak dan asuransi juga lebih murah.
“Kenapa Jepang? Ini di luar alasan akademik. Karena saya memang punya cita-cita untuk bisa belajar dan punya pengalaman hidup, tinggal di sebuah negara yang modern tapi juga menjaga budayanya,” ujar Santi.
leon wu/unsplash
Biaya sekolah anak semakin hari semakin melambung. Dari informasi yang beredar di media sosial saja, biaya sekolah untuk pendidikan usia dini pun angkanya cukup mencengangkan. Apalagi biaya pendidikan hingga perguruan tinggi yang juga terus merangkak naik.
Seorang milenial yang juga memiliki seorang anak berusia tiga tahun, Ghira Humaira (29 tahun), tampaknya belum terlalu memikirkan dana kuliah untuk sang buah hati.
Karena anaknya masih berusia tiga tahun, ia masih memikirkan dulu uang untuk masuk taman kanak-kanak (TK). Untuk perguruan tinggi, ia berharap anaknya tumbuh menjadi anak yang pintar agar bisa mendapat beasiswa dan meringankan biaya sekolah hingga kuliah. “Aku belum bisa menyisihkan uang untuk pendidikan perguruan tinggi, tapi aku sudah berencana ikut asuransi untuk sekolah anak. Ketika anak mulai masuk SD nanti, mungkin aku baru memutuskan untuk ikut asuransi atau investasi,” kata dia lagi.
Tak ketinggalan, dia berharap sistem Kartu Indonesia Pintar (KIP) jangan dipersulit persyaratannya. Karena menurut dia, ada beberapa orang yang tergolong menengah, penghasilan orang tua normal tetapi memang tidak cukup untuk membiayai kuliah anaknya. Alhasil, terkadang mengajukan surat keterangan miskin ke pihak RT/RW tidak langsung disetujui. Belum lagi ketika mengajukan ke pihak kampus masih banyak berkas yang harus dipenuhi.
“Sama aja seperti BPJS Kesehatan atau Kartu Indonesia Sehat (KIS), kan ribet ya harus ini itu lengkapi berkas, orang sakit kok dipersulit begitu. Untungnya kalau mengurus KIP orangnya sehat, tapi masalahnya sulit di-acc,” ujar Ghira saat dihubungi Republika.
Perencana keuangan OneShildt, Agustina Fitria, mengungkapkan cara agar bisa mengumpulkan biaya kuliah anak sedari dini. Karena beberapa orang tua mungkin memiliki penghasilan yang pas-pasan, sehingga harus dimulai mengumpulkan sejak anak masih kecil.
Jika ada orang tua yang ingin menyiapkan biaya kuliah dari anak usia tiga tahun, bisa melakukan pemantauan dulu biaya kuliah saat ini. Misalnya, rata-rata sekitar Rp 6 juta per semester, dari kalkulator OneShildt, artinya orang tua memiliki waktu mengumpulkan uang sekitar 15 tahun dengan biaya per bulan Rp 1 juta.
“Berarti 15 tahun lagi biaya total kuliahnya sekitar Rp 164 juta, risetnya OneShildt sekitar segitu. Nah, terus kalau mau direncanakan dari sekarang, misalnya mau investasi, investasi itu kan masih punya waktu 15 tahun lagi, dipikirkan kira-kira butuhnya berapa per bulannya,” papar Agustina saat dihubungi Republika.
Misalnya tidak berani berinvestasi saham, penghasilan Rp 6 juta per bulan, kenaikan biaya pendidikan delapan persen lalu investasinya di enam persen. Artinya dalam sebulan bisa investasikan sekitar Rp 500 ribu per bulan, jika konsisten rutin sampai 15 tahun ke depan.
freepik
Bagaimana dengan asuransi pendidikan? Dia menyebut itu hanya untuk mengantisipasi ketidakpastian, jika orang tua meninggal dunia di masa 15 tahun. ''Itu hanya untuk risiko jika orang tua meninggal di masa 15 tahun itu, di situlah fungsi asuransi,'' katanya.
Untuk perkiraan biaya kuliah antara kampus negeri dan swasta, Agustina Fitria, mengungkapkan untuk kampus negeri, biasanya biaya kuliah akan naik dalam rentang waktu setiap tiga atau empat tahun sekali. Sedangkan kampus swasta biasanya rutin ada kenaikan biaya kuliah setiap tahun, dan untuk rentang biayanya sangat bergantung pada kampusnya naik 5-15 persen.
Biaya kuliah juga lebih transparan, setidaknya mudah diketahui berapa biaya SKS dan uang masuknya. Kalau kampus negeri, uang kuliahnya tunggal, sehingga lebih terprediksi. Sementara kampus swasta sebagian besar biayanya per SKS, walaupun ada juga yang tidak seperti itu. Ia mengatakan, baik kuliah di kampus negeri maupun swasta, pasti ada biayanya dan yang gratis hanya jalur beasiswa, itu pun banyak persyaratannya.
Lantaran biaya kuliah yang diprediksi terus naik itulah, Agustina pun menyarankan agar persiapan dana kuliah telah dilakukan jauh hari sebelum si anak masuk kampus. “Memang kuliahnya masih lama, bisa 15 tahun lagi baru anak mau kuliah, tapi setidaknya bisa dipersiapkan dari anak usia tiga tahun itu. Nah, sudah survei, sudah tahu harga naiknya, tinggal dihitung saja pakai kalkulator finansial bisa, kalkulator OneShildt juga ada,” papar Agustina.
vasily koloda/UNSPLASH
top
FREEPIK